Penulis lepas. Saat ini aktif di bidang riset dan kajian HAM di organisasi KontraS Aceh.
Menimbang Ulang Kerukunan di Aceh
Rabu, 6 Agustus 2025 07:52 WIB
Mengapa aturan soal rumah ibadah di Aceh justru bikin warga sulit beribadah? Saatnya tinjau ulang demi kerukunan berbasis kesetaraan hak.
***
Aceh adalah provinsi yang mendapat keistimewaan dalam pelaksanaan syariat Islam melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Keistimewaan ini telah melahirkan berbagai kebijakan hukum berbasis agama, termasuk Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Tempat Ibadah.
Namun, dalam implementasinya, qanun ini justru menimbulkan dilema: apakah aturan itu memperkuat kerukunan antarumat beragama, atau justru menjadi hambatan terhadap hak-hak konstitusional warga negara, khususnya kelompok minoritas?
Kehidupan antarumat beragama di Aceh secara umum terlihat tenang. Namun, kedamaian ini dinilai bersifat semu. Kelompok minoritas (jika tak disebut sebagian besar) baik dari penganut selain Islam, bahkan muslim dari mazhab atau organisasi keagamaan berbeda—sering kali menghadapi tekanan sosial dan birokrasi saat menjalankan ibadah.
Dalam sejumlah diskusi publik dan pertemuan terbatas yang dilakukan oleh KontraS Aceh dua tahun terakhir, ditemukan bahwa komunitas minoritas mengalami diskriminasi halus maupun terang-terangan, seperti pencabutan dukungan izin mendirikan tempat ibadah, atau bahkan penggusuran tempat ibadah yang tidak memiliki izin resmi.
Penolakan terhadap aktivitas ibadah sering kali terjadi bukan karena kekerasan langsung, tetapi melalui pembiaran oleh aparat negara dan tekanan sosial di sekitar. KontraS Aceh dalam hasil kajiannya menyebut dampak pembatasan itu sejalan dengan temuan Wahid Foundation dan Setara Institute, yang kerap mengurai indikator kebebasan beragama, akses layanan publik, dan keterlibatan warga minoritas dalam politik lokal, yang cukup problematik di Aceh.
Mengenai regulasi dalam pengelolaan kerukunan umat beragama di Aceh, Qanun Nomor 4 Tahun 2016 pada dasarnya lahir untuk menggantikan Peraturan Gubernur Aceh No. 25 Tahun 2007.
Harapannya, qanun ini dapat menjadi dasar hukum yang lebih kuat dalam menyelesaikan konflik keagamaan, terutama menyusul peristiwa konflik rumah ibadah di Aceh Singkil pada Oktober 2015 yang berdampak jatuhnya korban jiwa dan pengungsian besar-besaran kala itu.
Namun, sebagaimana diungkap dalam Kertas Kebijakan KontraS Aceh (2025), terungkap bahwa qanun ini justru dinilai memperumit proses perizinan pendirian rumah ibadah.
Seperti ketentuan dalam Bab V yang mensyaratkan 140 pengguna (jemaat) dan 110 orang pendukung dari warga sekitar yang harus menyatakan setuju secara tertulis. Ini jauh lebih berat dibanding PBM No. 8 dan 9 Tahun 2006 yang “hanya” mensyaratkan 90 pengguna dan 60 pendukung.
Lebih dari itu, Pasal 19 dari Qanun 4/2016 mengecualikan rumah ibadah umat Islam dari ketentuan pendirian rumah ibadah secara umum. Hal ini menimbulkan standar ganda yang mencederai prinsip kesetaraan warga negara di hadapan hukum.
Padahal, Pasal 28E ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.”
Sedangkan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”
Lebih jauh, praktik ini juga dipandang kontroversi, jika mengacu pada International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), pasal 18, yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005, yang menyatakan bahwa kebebasan beragama merupakan hak non-derogable, tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun.
Kabupaten Aceh Singkil, adalah daerah dengan jumlah gereja Kristen dan Katolik terbanyak di Aceh, selain Aceh Tenggara. Namun justru di sini pula persoalan terkait izin pendirian rumah ibadah paling berdampak.
Qanun 4/2016—yang semestinya menjadi solusi pasca insiden 2015—ternyata gagal mengurai masalah. Sejumlah komunitas Kristen yang telah memenuhi syarat jumlah jemaat tetap tidak mendapat izin resmi mendirikan gereja baru.
Bahkan, beberapa yang telah memiliki dukungan warga sekitar pun masih harus bergelut pada tekanan eksternal, sehingga dukungan itu belakangan surut.
Persoalan semacam ini tidak selesai karena jalur penyelesaian perselisihan dalam Bab IX Qanun 4/2016 juga tidak efektif. Tidak ada penunjukan lembaga peradilan yang jelas, tidak ada standar hukum acara, dan peran FKUB sebagai mediator sering kali bersifat simbolik tanpa kewenangan mengikat.
Kondisi ini berujung pada krisis kepercayaan terhadap sistem. Masyarakat merasa tidak ada gunanya mengurus izin secara legal karena pada akhirnya tetap ditolak.
Ketika jalur hukum tidak efektif, maka yang terjadi adalah pembiaran, pembungkaman, dan pengabaian hak warga negara secara sistematis.
Preseden Toleransi
Selama delapan tahun penerapannya, penting bagi publik mempertanyakan kembali dampak dari penerapan qanun ini bagi toleransi antarumat beragama di Aceh.
Di banyak wilayah, sekolompok masyarakat menjadi “berani” menolak pembangunan rumah ibadah umat agama lain karena merasa qanun ini sebagai landasannya.
Bahkan ada beberapa kasus di mana warga yang telah menandatangani dukungan, kemudian mencabut kembali karena tekanan sosial atau karena mendapat informasi bahwa mendukung rumah ibadah agama lain adalah perbuatan tercela dan dilarang.
Mengutip Lailatul Fitriyah dalam kajiannya terhadap konflik keagamaan di Indonesia, dinyatakan bahwa ketika peraturan justru mendukung dominasi kelompok mayoritas, maka yang terjadi adalah "kemenangan sistematis" terhadap minoritas, yang membuat hak-hak kewargaan mereka menjadi pasif atau tidak teraktualisasi. Istilahnya: dormant citizenship.
Tidak hanya non-Muslim yang menjadi korban. Pernah mencuat kasus di mana komunitas Muhammadiyah di Desa Sangso, Bireuen, juga mengalami penolakan terhadap pendirian masjid mereka sendiri oleh sekolompok warga. Ironisnya, qanun ini tidak bisa digunakan untuk melindungi komunitas tersebut karena hanya mengatur rumah ibadah non-Muslim.
Secara hierarki, qanun adalah produk hukum daerah yang tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Namun bahasan yang sejak lama terus bergulir hingga kini, Qanun 4/2016 dipandang telah menetapkan syarat yang lebih berat dari PBM 2006, dan juga berbeda dengan semangat KUHP Nasional 2023 yang menegaskan larangan diskriminasi atas dasar agama.
Sementara itu, dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, disebutkan bahwa aturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi. Bahkan Mahkamah Konstitusi dalam berbagai putusannya telah menegaskan bahwa semua produk hukum daerah harus tunduk pada UUD 1945 dan peraturan nasional.
Dengan kata lain, diskusi yang perlu diperdalam di Aceh saat ini, adalah bagaimana mencermati aspek keistimewaan dan kekhususan Aceh dengan regulasi di tingkat nasional.
Urgensi Perbaikan Qanun
Dalam paparan ini, penulis memandang bahwa hasil kajian dari masyarakat sipil dihadapkan pada kenyataan bahwa Qanun 4/2016 telah menimbulkan lebih banyak kebuntuan daripada solusi, urgensi untuk merevisinya menjadi sangat jelas.
Banyaknya syarat administratif yang membebani, standar ganda dalam penerapan hukum, serta ketidakjelasan terminologi yang digunakan menunjukkan bahwa qanun ini tidak lagi mampu menjawab kompleksitas persoalan kerukunan umat beragama di Aceh.
Bahkan, alih-alih menjadi pelindung, qanun ini justru memperbesar potensi kisruh yang berakar dari ketimpangan akses terhadap hak beribadah.
Salah satu hal paling mendasar yang harus dikoreksi adalah pasal-pasal yang menciptakan diskriminasi secara struktural, seperti syarat-syarat dan rekomendasi yang sulit dipenuhi, serta tidak adanya jaminan fasilitasi tempat ibadah sementara jika persyaratan izin itu tak dapat dipenuhi.
Paal 19 juga menuai sorotan, di mana pengecualian aturan bagi kelompok agama tertentu tidak hanya melanggar prinsip kesetaraan dalam hukum, tetapi juga membuka ruang legitimasi bagi kelompok mayoritas untuk menekan minoritas atas nama kepatuhan terhadap hukum lokal.
Padahal, keadilan dalam konteks hukum daerah seharusnya mencerminkan keadilan konstitusional: bahwa semua warga negara, tanpa kecuali, berhak atas perlindungan hukum yang setara.
Lebih jauh, revisi qanun juga penting untuk memperjelas definisi-definisi kunci seperti “kebutuhan nyata,” “dukungan masyarakat,” atau “ketentraman dan ketertiban umum.” Selama istilah-istilah ini tidak didefinisikan secara tegas, maka mereka akan terus terbuka terhadap tafsir yang manipulatif.
Dalam beberapa kasus, frasa “ketertiban umum” telah dijadikan dalih untuk membubarkan pertemuan ibadah minoritas, bahkan ketika kegiatan tersebut berlangsung secara damai dan tertutup.
Selain itu, proses perizinan pendirian tempat ibadah yang panjang, berbelit, dan melibatkan terlalu banyak tahapan—mulai dari keuchik, camat, FKUB, hingga bupati atau gubernur—telah menimbulkan rasa frustasi di kalangan pemohon.
Prosedur ini tidak hanya tidak efisien, tetapi juga membuka peluang bagi penyalahgunaan kekuasaan, serta rawan terhadap intervensi aktor non-negara yang intoleran. Dalam semangat negara hukum, birokrasi yang mengatur pemenuhan hak konstitusional seharusnya dirancang untuk memfasilitasi, bukan menghambat.
Dalam konteks kekinian, qanun juga perlu disesuaikan dengan prinsip-prinsip inklusivitas. Aceh sudah waktunya memiliki peraturan yang sensitif terhadap kebutuhan kelompok rentan seperti penyandang disabilitas, perempuan, anak-anak, dan warga lansia.
Tempat ibadah bukan hanya ruang untuk menjalankan perintah agama, tetapi juga ruang sosial dan kultural yang harus dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat. Saat ini, prinsip inklusi belum menjadi pertimbangan dalam desain dan syarat pembangunan rumah ibadah.
Di saat yang sama, mekanisme penyelesaian konflik yang diatur dalam qanun masih terlalu umum. Tidak ada panduan yang jelas tentang siapa yang berwenang, bagaimana prosedurnya, dan apa bentuk penyelesaiannya. Hal ini memperbesar potensi konflik yang tidak terselesaikan dan berlarut-larut.
Dalam kerangka hukum modern, kejelasan prosedur merupakan prasyarat bagi keadilan. Maka, penting untuk memasukkan mekanisme mediasi yang kuat dan independen, termasuk penguatan peran FKUB agar tidak hanya menjadi pemberi rekomendasi administratif, melainkan juga mediator yang aktif dan dipercaya oleh semua pihak.
Kebutuhan akan izin sementara tempat ibadah juga mendesak untuk diakomodasi. Banyak komunitas yang tidak memiliki akses terhadap rumah ibadah tetap terpaksa menggunakan ruko, rumah pribadi, atau tempat lain secara sementara.
Dalam situasi seperti bencana, pengungsian, atau proses pemulihan pasca-konflik, keberadaan ruang ibadah sementara sangat dibutuhkan demi menjamin hak dasar warga untuk beribadah. Sayangnya, qanun saat ini belum mengatur skema perizinan sementara tersebut.
Akhirnya, qanun ini juga perlu diselaraskan secara lebih ketat dengan rencana tata ruang daerah. Hal ini penting agar pembangunan rumah ibadah dapat mempertimbangkan aspek-aspek keberlanjutan lingkungan dan kesiapsiagaan bencana.
Ketentuan teknis ini sekaligus akan memperkuat integrasi antara hak-hak sipil dan tanggung jawab negara dalam membangun ruang publik yang adil.
Semua perbaikan tersebut bertujuan bukan hanya untuk merespons permasalahan teknis, tetapi juga untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap hukum.
Hukum tidak boleh menjadi alat pembatas yang melegitimasi ketimpangan. Hukum, terlebih dalam konteks Aceh yang istimewa, harus menjadi jembatan yang merawat keadilan dan merangkul keberagaman.
Kerukunan sejati tidak lahir dari peraturan yang bias dan diskriminatif. Ia harus tumbuh dari rasa saling menghormati dan keadilan dalam aturan hukum. Qanun 4/2016, sebagaimana adanya saat ini, telah gagal menjawab kebutuhan keadilan tersebut. Alih-alih memelihara kerukunan, ia justru memperdalam sekat sosial dan diskriminasi yang dilegalkan oleh negara.
Revisi qanun ini bukan untuk menentang syariat Islam atau keistimewaan Aceh. Sebaliknya, revisi ini adalah bentuk penghormatan terhadap ajaran Islam yang menjunjung keadilan, kesetaraan, dan perlindungan terhadap yang lemah. Karena tidak ada kemuliaan dalam hukum yang menindas yang minoritas. Dan tidak ada perdamaian tanpa keadilan.
Aceh layak menjadi model penerapan Islam yang inklusif. Tapi untuk itu, Aceh juga harus berani melihat dirinya dari dalam, dan qanun tersebut adalah tempat yang tepat untuk memulai. []

Penulis Indonesiana
1 Pengikut

20 Tahun Usai Konflik Aceh, Jalan Penyintas Masih Panjang
Minggu, 31 Agustus 2025 20:18 WIB
Kemiskinan dan Ilusi Identitas
Kamis, 14 Agustus 2025 08:51 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler